Jawaban: Yang perlu kita ketahui terlebih dahulu adalah bahwa paham (aliran, pandangan, pemikiran) qadariyah maupun jabriyah (orang Indonesia sering menyebutnya jabariyah) belum muncul pada masa Nabi Muhammad saw. masih hidup. Paham-paham itu baru muncul setelah ajaran agama Islam berinteraksi dengan filsafat, pemikiran, dan produk budaya
PahamIslam Ahlussunnah Wal Jamaah yang dianut NU, dibidang fiqih menganut madzhab empat: Hanafi, Maliki, SyafiI dan Hambali. Adapun dalam bidang kalam menganut madzhab Asyariyah dan Maturidiyah-Asyariah artinya penganut pemikiran al-Asyari (sebagai analogi: Webwrian artinya penganut pemikiran Max Weber).
yangdalam bidang Tauhid menganut pemikiran Imam Abu Hasan Al Asy'ari dan Abu Mansur Al Maturidi, sedangkan dalam bidang ilmu fiqih menganut Imam Madzhab 4 (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali) serta dalam bidang tasawuf menganut pada Imam Al Ghazali dan Imam Junaid al Baghdadi Penggunaan istilah Ahlus Sunnah Wal Jamaah, Az
Inilahpedoman ringkas mengenai dasar-dasar keimanan bagi kaum muslim berdasarkan pemahaman penganut Ahlussunnah Waljama'ah dari ulama klasik yang disebut-sebut sebagai Sang Sultan Aulia. Syekh Abdul Qadir al-Jailani mengupas langkah pertama seorang mukmin dalam menata kembali prinsip-prinsip keimanan dan keislamannya (dari tauhid, cinta Nabi
Vay Tiền Online Chuyển Khoản Ngay. Berikut kami jelaskan ajaran ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah mencakup bidang akidah dan tasawuf Baca juga Pengertian Ahlusunnah Wal Jamaah Secara Bahasa dan Istilah Ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah Bidang Akidah Akidah erat kaitannya dengan iman yang secara bahasa berarti percaya, akan tetapi bagi Ahlussunnah Wal Jamaah iman merupakan sebuah perkara harus diucapkan dengan lisan dan diakui dalam hati kemudian diamalkan dalam perbuatan. Secara garis besar, Ahlussunnah Wal Jamaah memiliki beberapa ajaran pokok dalam bidang akidah yaitu Allah mempunyai takdir atas manusia tetapi manusia memiliki bagian untuk usaha atau ikhtiar kasb Ahlussunnah Wal Jamaah tidak mudah mengkafirkan manusia. Ahlussunnah Wal Jamaah berpendapat bahwa manusia yang berdosa besar tetaplah seorang mukmin dan bukan kafir. Dia kelak tetap akan masuk surga setelah menerima balasan atau hukuman di neraka sesuai dengan perbuatannya. Ahlussunnah Wal Jamaah berkeyakinan bahwa Al-Qur'an itu Firman Allah dan bukan makhluk. Ahlussunnah Wal Jamaah meyakini Allah memiliki 20 sifat wajib, 20 sifat mustahil dan 1 sifat Jaiz. Ahlussunnah Wal Jamaah berpendapat bahwa orang yang beriman kelak masuk surga dan dapat melihat Allah, Jika Allah mengizinkan. Ahlussunnah Wal Jamaah berpendapat bahwa keadilan Allah adalah Allah menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. Ahlussunnah Wal Jamaah mentakwilkan tangan Allah, mata Allah dan wajah Allah sebagai kekuasaan Allah, penglihatan Allah dan Dzat Allah. Ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah Bidang Tasawuf Dari sisi bahasa, tasawuf berasal dari kata Shafaa yang artinya bersih atau suci. Ada yang mengatakan berasal dari kata Shaff yang berarti barisan dalam salat. Ada juga yang mengatakan berasal dari bahasa Yunani Shopia artinya Hikmah. Akan tetapi tujuannya sama yaitu mementingkan kebersihan batin. Orang yang mengamalkan nya disebut Sufi sedangkan ilmunya disebut tasawuf. Menurut istilah, tasawuf adalah perpindahan sikap mental, keadaan jiwa dari suatu keadaan kepada suatu keadaan yang lain yang lebih tinggi dan lebih sempurna, pindah dari ilmu kebendaan bersifat keduniawian ke alam rohani akhirat. Tasawuf membimbing agar kualitas ibadah dan keislaman seseorang benar-benar sempurna, Juga membimbing agar manusia mengenali hakikat sebagai hamba yang lemah dan selalu bersandar, berserah diri kepada Allah dalam setiap perbuatannya jam. Berikut inti ajaran tasawuf, khususnya yang menjadi kepercayaan Ahlusunnah Wal Jamaah Keikhlasan pengabdian kepada Allah sehingga memiliki jiwa yang bersih, tidak sombong, selalu berhati-hati dan waspada. Tidak mudah puas dan selalu meningkatkan ibadah kepada Allah SWT. Menyadari kelemahan sebagai manusia sehingga selalu menerima kegagalan dengan kebersihan jiwa, lapang dada, selanjutnya Berusaha atau berikhtiar dengan sungguh-sungguh dan berserah diri semata-mata mendapat bimbingan dari ridho Allah. Sejak abad ke-2 Hijriyah banyak tokoh ulama tasawuf yang terkenal diantaranya adalah Imam Abu Mansur Al Maturidi, Imam Abu Hasan Al Asy'ari, Syekh Abdul Qodir Al Jaelani, Imam Al Ghazali dan Imam Abul Qosim Al Junaidi Al Baghdadi dan lain sebagainya. Baca juga Biografi Abu Hasan Al Asy'ari Sejarah Mazhab Al-Asy'ari Sejarah Aliran Al Maturidi Beserta Karya-karyanya Berikut tiga golongan besar dalam tasawuf Golongan yang antipati terhadap tasawuf dan hanya berpegang kepada syariat atau fiqih. Diantara tokoh-tokoh Golongan ini adalah Ibnu Taimiyah, Ibnu qoyyim dan lain sebagainya. Golongan yang terlalu berlebihan bahkan sampai meninggalkan syariat. Mereka tidak lagi shalat dan puasa. Bagi mereka, Jika seorang hatinya baik, maka tidak perlu lagi melakukan ibadah-ibadah lain seperti salat, puasa, haji dan lain sebagainya. Golongan yang menerima tasawuf tetapi juga tidak meninggalkan Golongan ini adalah Imam Abul Qosim Al Junaidi Al Baghdadi dan Imam Al Ghazali termasuk Syekh Abdul Qodir Al Jaelani. Junaidi Al Baghdadi Untuk ajaran tasawuf Ahlussunnah Wal Jamaah sendiri mengikuti Imam Abul Qosim Junaidi Al Baghdadi dan Imam Al Ghazali. Junaidi Al Baghdadi merupakan salah satu ulama Sufi yang terkenal dengan sebutan penghulu ulama akhirat. Lahir di Nahuwan tahun dan wafat di Irak sekitar tahun 279 Hijriyah atau tahun 91 Masehi. Beliau adalah salah satu tokoh sufi yang menguasai hadits dan fiqih serta dikenal sebagai tokoh kritis. Ia dibesarkan dalam dunia tasawuf, dan merupakan seorang perumus sufisme yang Ortodoks. Ajaran tasawufnya tidak berbeda-beda dengan pokok syariat dan menjaga kehidupan sufisme yang tetap dalam batas wajar. Tidak melakukan perbuatan-perbuatan ganjil apalagi meninggalkan syariat. Imam Abu Qosim Junaidi Al Baghdadi berkata Bagiku ibadah atau syariat adalah sesuatu yang maha penting. Orang-orang yang melakukan zina dan mencuri itu lebih baik daripada orang-orang yang berbuat ganjil dan meninggalkan syariat. Al Ghazali lahir di wajah pada tahun 450 Hijriyah atau 1058 Masehi dan wafat di sana pada tahun 505 Hijriyah atau 1111 Masehi. Beliau memperoleh gelar Hujjatul Islam sebab mampu dan merupakan tokoh utama yang menyatukan sufisme dengan syariat. Beliau juga perumus tasawuf dan membersihkannya dari unsur yang tidak Islami dan mengabdikannya kepada paham sunni atau Ahlussunnah Wal Jamaah serta tasawufnya telah memperoleh restu dari ijma' atau kesepakatan para ulama. Pemilihan ajaran tasawuf Imam Abu Qosim Junaidi Al Baghdadi dan Imam Al Ghazali sebagai sandaran ajaran di bidang tasawuf Ahlussunnah Wal Jamaah merupakan bukti bahwa NU sebagai pembela dan penegak ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah dan sekaligus menolak ajaran Wihdatul wujud atau Pantheisme dari Al Hallaj Manunggaling kawulo Gusti yang pernah berkembang di Indonesia.
Oleh KH Abdurrahman WahidBeberapa tahun terakhir ini kita saksikan pergulatan yang hebat di kalangan berbagai kelompok Islam di Tanah Air. Banyak muncul berbagai organisasi baru yang mengajukan klaim sebagai perwadahan organisasi kaum ulama Indonesia, baik yang berstatus swasta maupun setengah resmi. Ada yang didirikan khusus untuk menampung aspirasi kelompoknya saja, tetapi ada yang didirikan sebagai wadah dialog musawarah para ulama berbagai kelompok. Di samping bertemunya segala macam ajaran dari berbagai kelompok di lingkungan perguruan-perguruan tinggi agama dan non-agama, organisasi-organisasi keulamaan itu akhirnya membawakan kebutuhan untuk melakukan perumusan kembali pengertian aqidah Ahlussunnah wal Jamaah di lingkungan Nahdlatul Ulama sendiri. Ini tercetus antara lain dalam bentuk membatasi pengertian ke-ahlussunnah-an hanya pada satu ajaran saja. Yaitu ajaran tauhid kedua imam Asy’ari dan Al-Maturidi saja. Asa yang selama ini menjadi dasar keputusan bersama ijma’ = konsesus tentang madzhab fiqh dan akhlaq al-tasawwuf diminta agar ditinjau kembali karena ada kemungkinan keduanya tidak termasuk asa ke-ahlussunnah-an. Kita dapat menghargai dan mengerti munculnya keinginan seperti itu yang didasarkan kepada niat baik untuk mencari pendekatan sejauh mungkin antara warga Nahdlatul Ulama dan warga organisasi-organisasi lain, sebagai reaksi atas perpecahan hebat yang terjadi dalam batang tubuh umat Islam sendiri selama ini. Kita dapat memahami munculnya gagasan islaf meniru kaum salaf hingga kepada masa sebelum perbentukan madzhab fiqh, sebagai ikhtiyar penghayatan kembali masa keemasan Khulafaur Rasyiddin. Kita dapat memahami peningkatan kecenderungan untuk istidlal langsung kepada nushush manqulah yang menjadi sumber utama hukum agama kita, dengan mengurangi pengambilan langsung dari aqwal fi qutubihim al-muqarrarah, demi tercapainya kesatuan dan persyatuan di kalangan umat Islam. Semuanya akan kita korbankan dan kita persembahkan kalau diperlukan untuk memelihara kesatuan dan persatuan itu. Tetapi kenyataan yang ada tidaklah semudah impian di atas. Andai kita tinggalkan perumusan yang sudah ada tentang al-Usus al-tsalatsah fi I’tiqadi ahlissunnah wal Jamaah bertauhid mengikuti Imam al-Asy’ari dan al-Maturidi, berfiqh mengikuti salah satu madzhab empat dan berakhlaq sesuai dengan perumusan Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam Abu Hamid al-Ghazali dan kita ambil patokan paling sederhana seperti yang diusulkan di atas, dapat dipastikan persatuan dan kesatuan umat Islam tetap belum terwujud. Perpecahan hebat di lingkungan umat Islam diakibatkan oleh perbedaan besar dalam soal-soal luar aqidah, maka yang terjadi adalah perbedaan dalam penerapan aqidah itu sendiri dalam masalah-masalah nyata yang timbul dalam kehidupan. Kaum Ahlussunnah wal Jam’ah di lingkungan Nahdlatul Ulama menggunakan segala kelengkapan alat dan istimbath al-ahkam, termasuk usulul al-fiqh, qawaid al-fiqh, dan hikmat al-tasry’ dalam merumuskan keputusan hukum agama mereka, sedangkan orang lain hanya menggunakan istinbath dari pengambilan lnagsung dari dalam naqli tanpa terlalu mementingkan penggunaan alat-alat tersebut di atas dalil naqli itu dalam mengambil keputusan. Biar bagaimanapun juga, tiak akan ada kesepakatan cara wasail, metode di kalangan kaum muslimin, dan tetap akan ada perbedaan pendapat ikhtilaf al-ara’ di antara mereka sebagai akibat sebagaimana diperkuat oleh kaidah ikhtilaf al-ummah rahmah. Menciptakan Saling Penghargaan Pemecahan persoalannya bukanlah dengan cara mempersatukan semua wasail yang berbeda-beda itu, melainkan menciptakan saling penghargaan di antara kelompok yang berlainan pandangan itu. Kesamaan sikap hidup dan pandangan umum tentang kehidupan adalah alat utama untuk menghilangkan perbedaan pendapat, atau setidak-tidaknya usaha menghindarkan perbedaan yang tajam. Sikap hidup dan pandangan umum tentang kehidupan yang bersamaan secara nisbi, dapat dikembangkan melalui penyusunan dasar-dasar umum penerapan aqidah masing-masing guna maslahah bersama. Kalau kita perbincangkan pengembangan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, maka caranya bukanlah dengan mengembangkan perumusan kembali aqidah yang sudah muttafaq alaih semenjak berabad-abad, melainkan dengan mengembangkan dasar-dasar umum penerapan aqidah yang sudah diterima secara umum di lingkungan Nahdlatul Ulama itu. Biarkanlah al-usus al-tsalatsah yang sudah menjadi konsesus itu tetap pada keasliannya, sesuai dengan kaidah “al-ashlu baqau ma kana ala makana”. Yang terpenting adalah bagaimana merumuskan dasar-dasar umum penerapan ketiga usus itu dalam kehidupan nyata sekarang. Dua Bentuk Kerja Utama Pengembangan dasar-dasar umum penerapan aqidah yang sudah ada, tanpa mengubah aqidah itu sendiri, dapatlah dirumuskan sebagai upaya pengembangan ajaran ta’lim Ahlussunnah wal Jamaah. Pengembangan ajaran itu mengambil bentuk dua kerja utama berikut. Pertama, pengenalan pertumbuhan kesejarahan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang meliputi pengkajian kembali sejarah pertumbuhan Ahlussunnah wal Jamaah dan dasar-dasar umum penerapannya di brbagai negara dan bangsa, semenjak masa lalu dan sekarang. Ini meliputi pengkajian wilayah dirasat al-aqalim al-muslimah/area studies of Islamic people, dari Afrika Barat hingga ke Oceania dan Suriname. Kekhususan dasar umum masing-masing wilayah harus dipelajari secara teliti, untuk memungkinkan pengenalan mendalam dan terperinci atas praktik-praktik ke-ahlussunnah-an. Kedua, perumusan dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat di kalangan Ahlussunnah wal Jamaah, meliputi bidang-bidang berikut; 1. Pandangan tentang tempat manusia dalam kehidupan alam 2. Pandangan tentang ilmu, teknologi, dan pengetahuan 3. Pandangan ekonomis tentang pengaturan kehidupan masyarakat 4. Pandangan tentang hubungan individu syakhs dan masyarakat mujtama’ 5. Pandangan tentang tradisi dan penyegarannya melalui kelembagaan hukum, pendidikan, politik dan budaya 6. Pandangan tentang cara-cara pengembangan masyarakat, dan 7. Asas-asa penerapan ajaran agama dalam kehidupan. Secara terpadu, perumusan akan dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat itu akan membentuk perilaku kelompok dan perorangan yang terdiri dari sikap hidup, pandangan hiup, dan sistem nilai manhaj al-qiyam al-mutsuliyyah yang secara khusus akan memberikan kebulatan gambaran watak hidup Ahlussunnah wal Jamaah syakhsyiyatu ma tamassaka bi aqidati Ahlissunnah wal Jamaah. Kehidupan Masa Kini Perumusan dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat yang dibagi dalam tujuh bidang di atas, akan dapat dilakukan dalam sebuah dialog terbuka di kalangan warga Nahdlatul Ulama, tidak hanya terbatas di lingkungan tertentu saja. Untuk memungkinkan pembicaraan terbuka yang eifisien, diperlukan sebuah kerangka umum pandangan Nahdlatul Ulama atas masalah-masalah kehidupan masa kini. Kerangka umum itu, menurut hemat penulis, haruslah memasukan unsur-unsur berikut. Pertama, pandangan bahwa keseluruhan hidup ini adalah peribadatan al-hayatu ibadatun kulluha. Pandangan ini akan membuat manusia menyadari pentingnya arti kehidupan, kemuliaan kehidupan, karena itu hanya kepadanya lah diserahkan tugas kemakhlukan al-wadhifat al-khalqiyyat untuk mengabdi dan beribadat kepada Allah SWT. Demikian berharganya kehidupan, sehingga menjadi tugas umat manusia lah untuk memelihara kehidupan ini dengan sebaik-baiknya, termasuk memelihara kelestarian sumber-sumber alam, memelihara sesama manusia dari pemerasan oleh segolongan kecil yang berkuasa melalui cara-cara bertentangan dengan perikemanusiaan, meningkatkan kecerdasan bangsa guna memanfaatkan kehidupan secara lebih baik, dan seterusnya. Kedua, kejujuran sikap hidup merupakan sendi kehidupan bermasyarakat sejahtera. Kejujuran sikap ini meliputi kemampuan melakukan pilihan antara berbagai hal yang sulit, guna kebahagiaan hidup masa depan; kemampuan memperlakukan orang lain seperti kita memperlakukan diri sendiri sehingga tidak terjadi aturan permainan hidup bernegara yang hanya mampu menyalahkan orang lain dan menutup mata terhadap kesalahan sendiri; dan kemampuan mengakui hak mayoritas bangsa dan umat manusia untuk menentukan arah kehidupan bersama. Kejujuran sikap ini akan membuat manusia mampu memahami betapa terbatasnya kemampuan diri sendiri, dan betapa perlunya ia kepada orang lain, bahkan kepada orang yang berbeda pendirian sekalipun. Ini akan membawa kepada keadilan dalam perlakuan di muka hukum, penegakan demokrasi dalam arti yang sebenarnya, dan pemberian kesempatan yang sama untuk mengembangkan pendapat masing-masing dalam kehidupan bernegara. Ketiga, moralitas akhlaq yang utuh dan bulat. Akhlaq yang seperti ini, yang sudah dikembangkan begitu lama oleh para ulama kita, tidak rela kalau kita hanya berbicara tentang pemberantasan korupsi sambil terus-menberus mengerjakannya; tidak dapat menerima ajakan hidup sederhana oleh mereka yang bergelimang dalam kemewahan tidak terbatas yang umumnya diperoleh dari usaha yang tidak halal; dan menolak penguasaan seluruh wilayah kehidupan ekonomi oleh hanya sekelompok kecil orang belaka. Secara keseluruhan, kerangka umum di atas akan membawa Nahdlatul Ulama kepada penyusunan sebuah strategi perjuangan baru yang akan mampu memberikan jawaban kepada tantangan-tantangan yang dihadapi Nahdlatul Ulama sendiri dewasa ini dan di masa mendatang, strategi perjuangan itu, yang unsur-unsurnya sudah banyak dibicarakan dan dirumuskan dalam berbagai kesempatan oleh banyak kalangan Nahdlatul Ulama sendiri, perlu dirumuskan dan disusun, jika kita ingin melakukan perjuangan yang lebih terarah dengan cara yang lebih tepat. Dua Sendi Untuk keperluan penyusunan strategi perjuangan itu, di bawah ini akan dikemukakan kedua sendi yang tidak boleh tidak harus dimiliki. Pertama, pendekatan yang akan diambil oleh strategi itu sendiri, yang seharusnya ditekankan pada penanganan masalah-masalah kongkret yang dihadapi oleh masyarakat melalui kerja-kerja nyata dalam sebuah proyek rintisan, baik di bidang pertanian, perburuhan, industri kecil, kesehatan masyarakat, pendidikan keterampilan, dan seterusnya. Kedua, organisasi atau arah yang akan ditempuh oleh strategi itu sendiri, yang seyogianya dipusatkan pada pelayanan kepada kebutuhan pokok mayoritas bangsa, yaitu kaum miskin dan yang berpenghasilan rendah. * Tulisan ini pernah dimuat sebagai kata pengantar dalam buku “Ahlussunnah wal Jamaah Sebuah Kritik Historis” karya KH Said Aqil Siroj Jakarta Pustaka Cendikia Muda, 2008.
Ahlussunnah Waljama’ah merupakan akumulasi pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang yang dihasilkan para ulama untuk menjawab persoalan yang muncul pada zaman tertentu. Karenanya, proses terbentuknya Ahlussunnah Waljama’ah sebagai suatu faham atau madzhab membutuhkan jangka waktu yang panjang. Seperti diketahui, pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang, seperti ilmu Tauhid, Fiqih, atau Tasawuf terbentuk tidak dalam satu masa, tetapi muncul bertahap dan dalam waktu yang berbeda. Madzhab adalah metode memahami ajaran agama. Di dalam Islam ada berbagai macam madzhab, di antaranya; madzhab politik, seperti Khawarij, Syi’ah dan Ahlus Sunnah; madzhab kalam, contoh terpentingnya Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah; dan madzhab fiqh, misal yang utama adalah Malikiyah, Syafi’iyah, Hanafiyah dan Hanbaliyah, bisa juga ditambah dengan Syi’ah, Dhahiriyah dan Ibadiyah al-Mausu’ah al-Arabiyah al-Muyassaraah, 1965 97. Istilah Ahlussunah wal jama’ah terdiri dari tiga kata, "ahlun", "as-sunah" dan "al-jama’ah". Ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan, bukan sesuatu yang tak terpisah-pisah. a. Ahlun Dalam kitab Al-Munjid fil-Lughah wal-A’alam, kata "ahl" mengandung dua makna, yakni selain bermakna keluarga dan kerabat, "ahl" juga dapat berarti pemeluk aliran atau pengikut madzhab, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab sebagaimana tercantum pada Al-Qamus al-Muhith. Adapun dalam Al-Qur’an sendiri, sekurangnya ada tiga makna "ahl" pertama, "ahl" berarti keluarga, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Hud ayat 45 رَبِّ اِنَّ ابْنِى مِنْ أَهْلِى الهود 45 “Ya Allah sesungguhnya anakku adalah dari keluargaku”. Juga dalam surat Thoha ayat 132 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَوةِ طه 132 “Suruhlah keluargamu untuk mengerjakan sholat” Kedua, "ahl" berarti penduduk, seperti dalam firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-A’rof ayat 96. وَلَوْاَنَّ أَهْلَ اْلقُرَى ءَ امَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَاْللآَرْض الآعراف96 “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa, maka kami bukakan atas mereka keberkahan dari langit dan bumi.” Ketiga, ahl berarti orang yang memiliki sesuatu disiplin ilmu; Ahli Sejarah, Ahli Kimia. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman surat An-Nahl ayat 43. فَسْئَلُوْاأَهْلَ الذِكْرِاِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ النحل 43 “Bertanyalah kamu sekalian kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. b. As-Sunnah Menurut Abul Baqa’ dalam kitab Kulliyyat secara bahasa, "as-sunnah" berarti jalan, sekalipun jalan itu tidak disukai. Arti lainnya, ath-thariqah, al-hadits, as-sirah, at-tabi’ah dan asy-syari’ah. Yakni, jalan atau sistem atau cara atau tradisi. Menurut istilah syara’, as-Sunnah ialah sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani dalam agama, sebagaimana dipraktekkan Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan ataupun persetujuan Nabi SAW. Maka dalam hal ini As-sunnah dibagi menjadi 3 macam. Pertama, As-sunnah al-Qauliyah yaitu sunnah Nabi yang berupa perkataan atau ucapan yang keluar dari lisan Rasulullah SAW Kedua, As-Sunnah Al-Fi’liyyah yakni sunnah Nabi yang berupa perbuatan dan pekerjaan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketiga, As-Sunnah at-Taqririyah yakni segala perkataan dan perbuatan shahabat yang didengar dan diketahui Nabi Muhammad SAW kemudian beliau diam tanda menyetujuinya. Lebih jauh lagi, as-sunnah juga memasukkan perbuatan, fatwa dan tradisi para Sahabat atsarus sahabah. c. Arti Kata Al-Jama’ah Menurut Al-Munjid, kata "al-jama’ah" berarti segala sesuatu yang terdiri dari tiga atau lebih. Dalam Al-Mu’jam al-Wasith, al-jama’ah adalah sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Adapun pengertian "al-jama’ah" secara syara’ ialah kelompok mayoritas dalam golongan Islam. Dari pengertian etimologis di atas, maka makna Ahlussunnah wal jama’ah dalam sejarah Islam adalah golongan terbesar ummat Islam yang mengikuti sistem pemahaman Islam, baik dalam tauhid dan fiqih dengan mengutamakan dalil Al-Qur’an dan Hadits dari pada dalil akal. Hal itu, sebagaimana tercantum dalam sunnah Rasulullah SAW dan sunnah Khulafaurrasyidin RA. Istilah Ahlussunnah Waljama’ah dalam banyak hal serupa dengan istilah Ahlussunnah Waljama’ah Wal-atsar, Ahlulhadits Wassunnah, Ahlussunnah Wal-ashab al-Hadits, Ahlussunnah Wal-istiqamah, dan Ahlulhaqq Wassunnah. Untuk menguatkan hal-hal di atas terdapat beberapa hadits yang dapat dikemukakan misalnya, dalam kitab Faidlul Qadir juz II, lalu kitab Sunan Abi Daud juz. IV, kitab Sunan Tirmidzy juz V, kitab Sunan Ibnu Majah juz. II dan dalam kitab Al-Milal wan Nihal juz. I. Secara berurutan, teks dalam kitab-kitab tersebut, sebagai berikut عَنْ أَنَسٍ اِنَّ اُمَّتِى لاَتجَتْمَعُِ عَلىَ ضَلاَ لَةٍ, فَاءِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلاَ فًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ “Dari Anas sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan, maka apabila kamu melihat perbedaan pendapat maka kamu ikuti golongan yang terbanyak.” فَاءِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَ فًا كَثِيْرًا, فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتىِ وَسُنَّةِ اْلخُلَفَاءِ اْلمَهْدِبِيْنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْابِهَا وَعَضُّوْاعَلَيْهَابِالنَّوَاجِذِ. رواه ابو داود “Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kamu setelah wafatku maka ia akan melihat perselisihan-perselisihan yang banyak, maka hendaknya kamu berpegangan dengan sunnahku dan sunnah Khufaur-rasyidin yang mendapat hidayat, peganglah sunnahku dan sunnah Khulafaur-rasyidin dengan kuat dan gigitlsh dengan geraham.” اِنَّ بَنِى اِسْرَائِيْلَ تَفَرَّ قَتْ ثِنْنَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَ تَفْتَرِقُ أُمَّتىِ عَلَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً, كُلُّهُمْ فىِالنَّارِ اِلأَّ مِلَّةً وَاحِدَ ةً, قَالُوْا وَمَنْ هِىَ يَا رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ مَااَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى رواه الترمذى “Sesungguhnya Bani Israil pecah menjadi 72 golongan dan ummatku akan pecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan, mereka bertanya siapakah yang satu golongan itu ya Rasulullah? Rasulullah menjawab; mereka itu yang bersama aku dan sahabat-sahabatku.” عَنْ عَوْفٍ ابْنِ مَالِكٍ رَضِىاللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ اُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَاحِدَةٍ فِىاْلجَنّاةِ وَثِفْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِىالنَّارِ, قِيْلَ يَارَسُوْلَ اللهِ. مَنْ هُمْ ؟ قَالَ الجَمَاعَةُ. “Dari Shahabat Auf berkata; Rasulullah bersabda; Demi yang jiwa saya ditangan-Nya, benar-benar akan pecah ummatku menjadi 73 golongan, satu masuk surga dan 72 golongan masuk neraka, ditanya siapa yang di surga Rasulullah? Beliau menjawab; golongan mayoritas jama’ah. Dan yang dimaksud dengan golongan mayoritas mereka yang sesuai dengan sunnah para shahabat.” أَخْبَرَالنَّبِىُّ صلىاللهُ عليه وسلم سَتَفْتَرِقُ اُمَّتِى عَلىَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً, النَّاجِيَةُ مِنْهَا وَاحِدَةٌ, وَاْلبَاقُوْنَ هَلْكَى, قِيْلَ وَمَنِ النَّاجِبَةُ ؟ قَالَ اَهْلُ السُّنَّةِ وَاْلحَمَاعَةِ, قِيْلَ وَمَنْ أَهْلُ السُّنَّةِ وَاْلجَمَاعَةِ ؟ قَالَ مَا اَنَاعَلَيْهِ وَاَصْحَابِى اْلجَمَاعَةُ اْلمُوَفِقُوْنَ ِلجَمَاعَةِ الصَّحَابَةِ. رواه ابى ماجة. “Menyampaikan Rasulullah SAW akan pecah ummatku menjadi 73 golongan, yang selamat satu golongan, dan sisanya hancur, ditanya siapakah yang selamat Rasulullah? Beliau menjawab Ahlussunnah wal Jama’ah, beliau ditanya lagi apa maksud dari Ahlussunnah wal Jama’ah? Beliau menjawab; golongan yang mengikuti sunnahku dan sunnah shahabatku”. KH Nuril Huda Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama LDNU
Mempelajari ilmu aqidah wajib hukumnya bagi setiap Muslim. Penjelasan akan hukum tersebut sudah banyak kita dengar; entah dari pelajaran di pesantren, atau dari penjelasan para ulama di sekitar kita ketika pengajian. Sejak kecil kita sudah ditempa dengan dasar-dasar ilmu keimanan, tentunya tanpa melibatkan pemikiran teologis yang kompleks dan berbelit, seperti pengenalan sifat-sifat wajib dan mustahil serta jaiz bagi Allah, nama-nama malaikat, adanya surga neraka dan sebagainya, meskipun kewajiban mempelajari ilmu aqidah dimulai sejak adanya taklif. Mengenai kewajiban di atas, Syekh Ahmad al-Dardîri menyebutkan dalam karyanya, Kharîdah al-Bahiyyah وَوَاجِبٌ شَرْعًا عَلَى الْمُكَلَّفِ مَعْرِفَةُ اللهِ الْعَلِيِّ فَاعْرِفِ Dan wajib secara syara’ bagi seorang mukalaf mengetahui Allah Yang Maha Tinggi, maka ketahuilah! Syekh Ahmad al-Dardîr, Kharîdah al-Bahiyyah, Rembang al-Maktabah al-Anwariyyah, h. 4. Belajar ilmu aqidah haruslah memiliki seorang guru, karena tanpa adanya pembimbing yang mengarahkan kepada pemahaman yang benar akan menyebabkan kekeliruan yang fatal. Kondisi demikian membuat kalangan santri sangat beruntung karena difasilitasi secara lengkap ada guru yang mumpuni dan juga referensi yang mencukupi, sehingga ilmu aqidah atau sering disebut juga ilmu tauhid dapat diserap dengan mudah oleh mereka. Beda halnya dengan orang yang mengenyam pendidikan di sekolah umum yang minim mendapatkan pelajaran keislaman secara mendalam, atau para pekerja yang waktu-waktunya sudah disibukkan dengan pekerjaannya. Bagi mereka mempelajari ilmu aqidah menjadi lebih sulit, pun halnya mencari guru serta waktu luang untuk mempelajarinya. Keadaan itu membuat para santri, harus membuka mata dan berusaha semaksimal mungkin untuk tetap menghidupkan dan menyebarkan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah di tengah-tengah masyarakat dengan menyesuaikan kondisi yang ada. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk memudahkan sebagian orang yang waktu ngajinya tidak sebanyak para santri ialah dengan menuliskan tentang aqidah dengan bahasa Indonesia, atau menerjemahkan kitab-kitab aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah dengan bahasa yang mudah, benar dan tepat, sehingga dapat dibaca khalayak banyak. Salah satu karya tentang itu yang menarik disinggung adalah buku Akidah Salaf Imam Al-Ṭahawi, Ulasan dan Terjemahan. Imam Abu Ja’far al-Thahawi 238-321 H. merupakan salah satu imam dalam ilmu aqidah yang hidup semasa dengan dua imam besar dalam ilmu aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Imam Abû al-Hasan al-Asy’arî w. 324 H dan Abû Manshûr al-Mâtûridî H.. Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Salâmah ibn Abd al-Malik ibn Salâmah ibn Abû Ja’far al-Thahâwi al-Azdî al-Mishrî Ali Ridha & Ahmad Thaurân, Mu’jam al-Târîkh, Kayseri Dar el-Aqabah, cetakan pertama, 2001, h. 467. Dilihat dari tahun Imam Abû Ja’far hidup, maka beliau dapat digolongkan kepada ulama salaf. Imam Abû Ja’far antara lain berguru kepada Abd al-Ghanî ibn Abû Rifâ’ah, Hârûn ibn Sa’îd al-Aylî, Yûnus ibn Abd al-A’lâ, Bahr ibn Nashr al-Khawlânî, Muhammad ibn Abdullah ibn Abd al-Hakam,’Isâ Ibn Matsrûd, Ibrâhîm ibn Munqidz, al-Rabî’ ibn Sulaiman al-Murâdî, Abû Ibrâhîm al-Muzanî, dan yang lainnya. Pada awalnya Imam Abû Ja’far al-Thahâwî berguru kepada murid-murid Imam al-Syâfi’i dalam ilmu fiqih, yaitu al-Rabî’ ibn Sulaiman dan al-Muzanî, namun Abû Ja’far muda merasa pernah diremehkan oleh al-Muzanî daam bidang fiqih, sehingga ia pun berguru kepada Imam Ahmad ibn Abû Imrân, tokoh besar mazhab Hanafi di Mesir pada masanya. Pada umur 30 tahun Imam Abû Ja’far rihlah ke wilayah Syam dan berguru kepada Qâdi Abû Hazim al-Bashrî. Dan pada masa-masa itulah beliau menjadi pakar dalam fiqih mazhab Hanafi yang dihormati di wilayah Mesir. Dr. Arrazy Hasyim, Akidah Salaf Imam al-Ṭahawi,Ulasan dan Terjemahan, Ciputat Maktabah Darus-Sunnah, cetakan pertama, 2020, halaman 2-3. Imam Abû Ja’far al-Thahâwî memiliki banyak karya, di antara yang paling fenomenal dan banyak dipelajari dalam bidang aqidah Ahlussunnah wa Jama’ah ialah Matn al-Aqîdah al-Thahâwiyyah. Kitab ini tipis sekali, namun isinya padat dan tidak terlalu rumit. Dr. Arrazy Hasim, dosen Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah, Ciputat, menyebutkan bahwa kitab ini memiliki beberapa keistimewaan. Pertama, kitab ini merupakan salah satu kitab ilmu aqidah tertua dalam khazanah Ulama Salaf. Meski Imam al-Thahâwî belum pernah bertemu dengan Imam al-Asy’arî, namun secara ajaran keduanya tidak jauh berbeda. Kendati demikian secara sanad keilmuan, Imam Abû Ja’far lebih tinggi sanadnya âli. Secara tahun kelahiran pun lebih dulu Imam Abû Ja’far ketimbang Imam al-Asy’arî. Namun dilihat dari sisi popularitas, Imam al-Asy’arî tentu lebih populer sebab Imam Abû Ja’far tidak tinggal di kota metropilitan sebagaimana Imam al-Asy’arî yang tinggal di kota Baghdad. Kedua, secara manhaj kitab ini tidak berbeda dengan aqidah Imam Abû Hasan al-Asy’arî. Ketiga, ajaran yang terkandung di dalamnya merupakan ajaran aqidah yang diwariskan oleh Imam Abû Hanîfah dan kedua muridnya, Muhammad ibn Hasan al-Syaibâni dan Abû Yusûf al-Anshârî. Keempat, sosok Abû Ja’far al-Thahâwî “diperebutkan” oleh aliran-aliran setelahnya, hal ini tidak heran jika kitab Matn al-Aqîdah al-Thahâwiyyah disyarah oleh aliran salafi. Kelima, kitab ini dapat dijadikan acuan untuk menimbang kevalidan aliran mana pun yang mengaku bermanhaj Salaf. Keenam, kitab ini membuktikan bahwa aqidah Salaf Salih tidak hanya satu manhaj, akan tetapi mempunyai sistem berpikir yang beragam dan masih dalam lingkaran Ahlussunnah Dr. Arrazy Hasyim, Akidah Salaf Imam al-Ṭahawi,Ulasan dan Terjemahan, h. 6-7. Meski buku ini berbahasa Arab, kita tidak perlu khawatir karena sekarang kitab ini sudah diterjemahkan, salah satunya oleh Dr. Arrazy Hasyim sendiri. Sebab yang melatarbelakangi diterjemahkan dan disusunnya buku ini ialah ketika penulis buku ini Dr. Arrazy Hasyim mengajar Matn al-Aqîdah al-Thahâwiyyah di Darus Sunnah cabang Malaysia pada tahun 2014. Beberapa mahasiswa di sana saat itu menggunakan buku terjemah yang diimpor dari penerbit di Indonesia. Setelah memerhatikan isi buku tersebut, ternyata banyak bagian yang menyalahi kaidah yang diajarkan oleh penulis kitab aslinya sendiri, Imam Abû Ja’far al-Thahâwî. Hal demikian dapat dilihat dari sanggahan si penerjemah buku-buku terjemahan tersebut akan ungkapan Imam al-Thahâwî bahwa Allah Maha Suci dari batas hudûd, ujung ghâyât, dan arah jihât. Yang lebih parah tambahan penjelasan si penerjemah yang mengatakan bahwa kalam Allah berhuruf dan bersuara yang qadîm, padahal Imam al-Thahâwî sendiri dalam kitab aslinya tidak mengatakan demikian. Sebab itulah yang mendorong penerjemahan kembali kitab ini, dengan usaha agar dapat memperbaiki kesalahan dan penyimpangan, serta mengembalikan maksud asli dari teks sebagaimana yang dimaksud oleh Imam al-Thahâwî. Kelebihan buku Matn al-Aqîdah al-Thahâwiyyah yang diterjemahkan oleh Dr. Arrazy ini di antaranya adalah ketepatan memilih diksi untuk ungkapan-ungkapan dalam istilah ilmu aqidah dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Misalnya نَقُولُ فِي تَوْحِيدِ اللهِ مُعْتَقِدِينَ بِتَوْفِيقِ اللهِ إنَّ اللهَ وَاحِدٌ لَا شَرِيْكَ لَهُ “Kami menegaskan tentang pengesaan Allah tawhīd Allᾱh dengan hidayah dari Allah, mempercayai bahwa Allah itu Satu, tiada sekutu bagi-Nya." وَلَا شَيْءَ مِثْلُهُ "Tiada sesuatu pun yang seperti-Nya." وَلَا شَيْءَ يُعْجِزُهُ "Tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan-Nya." وَلَا إِلهَ غَيْرُهُ "Tiada sesuatu ilᾱh Tuhan yang berhak disembah selain-Nya." قَدِيْمٌ بِلَا ابْتِدَاءٍ دَائِمٌ بِلَا انْتِهَاءٍ "Qadīm Maha Awal tanpa permulaan, Maha Abadi tanpa akhir." Buku ini sangat cocok dibaca dan diajarkan kepada orang-orang yang baru menempuh pelajaran ilmu aqidah. Ia terdiri dari 5 Bab. Bab pertama membahas biografi singkat Imam al-Thahâwî, keutamaan, dan seputar pematenan istilah Salaf hingga sanggahan bagi aliran yang mengaku mengikuti ajaran Salaf. Bab kedua menerangkan tentang urgensi sanad sekaligus pemaparan sanad kitab ini dari penulis Dr. Arrazy Hasyim hingga muallif Imam al-Thahâwî. Dari sini terlihat penulis meriwayatkan Matn al-Aqîdah al-Thahâwiyyah dari beberapa Masyâikh, di antara mereka adalah Syekh Abdul Mun’im al-Ghummârî, Syekh Zakariyâ al-Halabi al-Makkî, KH. Ahmad Marwazi al-Batawî, ketiganya meriwayatkan dari musnid al-dunyâ, Syekh Yasin al-Fâdânî al-Makkî hingga kepada muallif kitab, Imam al-Thahâwî. Bab selanjutnya, terjemahan Matn al-Aqîdah al-Thahâwiyyah dan terakhir, yaitu bab keempat berisi penutup. Buku-buku dan kitab-kitab tentang aqidah Aswaja—apalagi dalam bentuk terjemah—penting sekali disebar dalam jumlah banyak di masyarakat. Lebih-lebih pada saat yang sama, kelompok anti-Asy’ariyah dan Maturidiyah semacam Wahabi terlebih dahulu menyebarkan paham mereka, termasuk dengan wakaf buku ke masjid-masjid atau lainnya. Hal itu sebagai ikhtiar melestarikan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, tanpa mengabaikan bahwa mempelajari ilmu aqidah tidak cukup dengan otodidak tanpa guru. Peresensi adalah Amien Nurhakim, Mahasantri Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah Identitas Buku Judul buku Akidah Salaf Imam al-Ṭaḥawî; Ulasan dan Terjemahan Penulis Arrazy Hasyim Penerbit Maktabah Darus-Sunnah Tahun terbit 2020 Halaman X + 100 ISBN 978-623-7197-06-5
paham ahlussunnah waljamaah dalam bidang akidah menganut ajaran tauhid